Rabu, 22 Mei 2013

Sabar (Part 1)


Matahari masih sangat cerah. Komposisi sinarnya dengan sangat tepat menyinari pohon jambu berbiji merah di halaman depan sebuah rumah. Pohon jambu itu sangat menjadi favorit penghuninya. Rasa buahnya yang manis dan dagingnya yang terasa gurih segar membuat setiap jambu tidak bertahan lama bergelantungan di dahannya. Kulitnya yang hijau dan sedikit kekuningan ketika sudah masak membuat jambu akan samar tersembunyi diantara daun-daun hijau dan tua kekuningan.

Tampak dibawah pohon seorang anak pemilik rumah berumur 7 tahun berbadan kurus dan berkulit coklat gelap. Sebuah genter (bambu untuk meraih jambu) dari bambu kering kecil dan panjang ada digenggamannya. Dia meneliti kesemua bagian dahan pohon jambu untuk menemukan jambu yang layak untuk dia raih. Tampak dari mata anak itu akhirnya berhenti di dua tempat. Dia hanya menemukan dua buah jambu di dahan yang berbeda. Satu jambu berwarna hijau tua, sudah layak untuk dimakan dan posisinya berada didahan yang rendah dan mudah dijangkau dengan genter di genggamannya. Jambu ke dua berwarna kuning keemasan sempurna dan sangat siap untuk dinikmati. Namun jambu ke dua berada didahan yang lebih tinggi tidak terjangkau dengan genternya. Dia perlu melompat lompat untuk mendapatkan jambu ke dua.

Kedua jambu itu laksana cita-cita bagi anak itu. Dia berjanji dalam hati "akan ku raih jambuku hingga nafas penghabisan". Hingga tersirat dalam pandangan matanya "Jambu kuning keemasan dan hijau tua, tunggu kedatanganku".

Kemudian anak itu berencana untuk mendapatkan jambu pertama yang hijau tua, karena pertimbangan lebih mudah. Dengan susah payah dia mendirikan genter bambu tersebut dengan kedua tangan. Ujung genter ditahan dengan satu kakinya supaya mudah diberdirikan.

Ketika itu, datanglah tamu, dua orang dan satu anak umru 5 tahun. Mereka mengendarai satu sepeda motor tua merk yamaha memasuki halaman rumah. Tampaknya, yang berada disepeda motor paling depan dan memegang kemudi adalah Bapak dari anak yang duduk ditengah. Dan ibunya duduk dipaling belakang. Sang ibu turun dan segera bertamu masuk kedalam rumah. Sedangkan Bapak dan anak pengendara sepeda menunggu dihalaman, tepat tiga meter dari anak pemilik rumah yang sedang menggapai jambunya.

Anak pemilik rumah masih sedang bersusah payah mengambil jambu pertama dengan genternya. Beberapa kali genter itu disodokkan pada jambu hijau tua, namun jambu tua masih enggan jatuh dari dahannya. Sementara bapak bersepeda tua terpaksa menatap keatas melihat apa yang sedang diraih anak pemilik rumah. Si Bapak melihat jambu tua sedang diincar oleh genter. Kemudian dia menggeser matanya kedahan lain melihat beberapa jambu yang muda. Melihat beberapa jambu yang masih "pentil". Dan, ketika menggeser penglihatannya agak kedahan yang lebih tinggi dia menemukan "emas". Jambu keemasan yang agak tersembunyi di balik daun-daun yang ikut menguning. Tentu saja emas itu adalah jambu kedua yang sudah diincar lebih dahulu anak pemilik rumah.

Si Bapak terpesona dengan keemasan jambu tersebut. Lalu dia melihat anaknya yang kurus berada dibelakang punggungnya. Anak tersayangnya. Seketika, Dalam pikiran si bapak "aku ingin memberikan yang terbaik untuk anakku. Apapun akan kulakukan untuk anakku". " Termasuk jambu keemasan itu akan kudapatkan untuk anakku". "Jambu keemasan cita-citaku untuk anakku".

Akhirnya...tidak berpikir panjang..
Si Bapak turun dari sepeda dan mendekati anak pemilik rumah
"Nak, mana saya bantu ambilkan jambu itu untukmu" Kata si bapak sambil meraih genter yang sedang dipegang anak pemilik rumah. Dengan maksud si bapak ingin mengambilkan jambu pertama yang berwarna hijau tua untuk si anak pemilik rumah.
"em...." si anak pemilik rumah terdiam melongo tidak sempat berkata-kata melepaskan genter yang dipegangnya, karena gerakan si bapak yang cukup kuat dan cepat mengambil alih genter yang dipegangnya.

"Craaak! Sreek........ Bruk!" Hanya sekali sentak genter dari si bapak,  jambu hijau tua incaran pertama si anak pemilik rumah terjatuh ditanah.

"Nak itu jambumu... Ambillah" kata si bapak memandang si anak pemilik rumah.
Sejurus kemudian si bapak kembali mendongakkan kepalanya ke atas.
" Sekarang aku akan mengambil jambu yang lain, untuk anakku" Kata si bapak  siap mengincar jambu yang lain, yaitu jambu keemasan. Tanpa memperhatikan raut muka si anak pemilik rumah.
Si anak pemilik rumah menyadari bahwa si bapak akan mengambil jambu keemasan yang sudah diincarnya untuk anaknya. Jambu keemasan cita-citanya. Detak jantungnya berdenyut terasa lebih cepat dari pada ketika melompat meraih jambu yang pertama. Ada perasaan tidak rela jambu keemasannya di ambil orang lain. Si anak merasa tidak kuasa untuk berkata-kata. Raut muka si bapak yang tua dan berwajah seram itu membuat mulutnya kaku untuk mengatakan kegelisahan. Si anak pemilik rumah diam tak berdaya. Hanya diam.

"Craaak! Sreek........ Bruk!" Tidak lama jambu keemasan sudah jatuh di tanah, diambil oleh si bapak tua, dan di berikan kepada anaknya yang sudah menunggu di atas sepeda motor tuanya.

Si anak pemilik rumah masih terdiam, menggenggam jambu hijau tua. Hatinya remuk redam. Jambu keemasan yang menjadi cita-citanya telah dirampas oleh orang lain. Dia merasa terdzalimi. Tanpa permisi si bapak tua jelek merebut jambu keemasan miliknya. Jambu hijau tua diterkam dengan kuat oleh jari-jarinya. Tampak di kedua matanya marah, tidak ikhlas jambu keemasannya telah direbut orang lain. Jambu keemasan itu seharusnya menjadi miliknya.

"Itu jambu saya!" teriaknya....sambil menunjuk jambu keemasan yang sudah berada di ujung ujung mulut anak si bapak bersepeda tua.
Si bapak dan anak hanya terdiam, melongo. Apa mungkin dia tidak sadar telah menyakiti hati si anak pemilik rumah?.
Si bapak itu terdiam dan tersenyum tidak merasa bersalah. Sementara anaknya tetap melanjutkan memasukkan jambu keemasan masuk kedalam mulutnya. Dan digigitnya.

Si anak pemilik rumah matanya semakin memerah. Dan tiba-tiba....
Si anak pemilik rumah itu berlari....
Tapi bukan mendekat dan melampiaskan kemarahannya ke pada si bapak dan anak di atas sepeda tuanya...
Dia berlari menjauhi sambil menangis..... Dia menangis berlari masuk kedalam rumah....
Dalam hatinya "aku tidak ikhlas...". Namun dibalik ketidak ikhlasan itu si anak tetap bersabar tidak akan melampiaskan kekesalannya karena akan merugikan dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar