Matahari
masih sangat cerah. Komposisi sinarnya dengan sangat tepat menyinari pohon
jambu berbiji merah di halaman depan sebuah rumah. Pohon jambu itu sangat
menjadi favorit penghuninya. Rasa buahnya yang manis dan dagingnya yang terasa
gurih segar membuat setiap jambu tidak bertahan lama bergelantungan di
dahannya. Kulitnya yang hijau dan sedikit kekuningan ketika sudah masak membuat
jambu akan samar tersembunyi diantara daun-daun hijau dan tua kekuningan.
Tampak
dibawah pohon seorang anak pemilik rumah berumur 7 tahun berbadan kurus dan
berkulit coklat gelap. Sebuah genter (bambu untuk meraih jambu) dari bambu
kering kecil dan panjang ada digenggamannya. Dia meneliti kesemua bagian dahan
pohon jambu untuk menemukan jambu yang layak untuk dia raih. Tampak dari mata
anak itu akhirnya berhenti di dua tempat. Dia hanya menemukan dua buah jambu di
dahan yang berbeda. Satu jambu berwarna hijau tua, sudah layak untuk dimakan
dan posisinya berada didahan yang rendah dan mudah dijangkau dengan genter di
genggamannya. Jambu ke dua berwarna kuning keemasan sempurna dan sangat siap
untuk dinikmati. Namun jambu ke dua berada didahan yang lebih tinggi tidak
terjangkau dengan genternya. Dia perlu melompat lompat untuk mendapatkan jambu
ke dua.
Kedua jambu
itu laksana cita-cita bagi anak itu. Dia berjanji dalam hati "akan ku raih
jambuku hingga nafas penghabisan". Hingga tersirat dalam pandangan matanya
"Jambu kuning keemasan dan hijau tua, tunggu kedatanganku".
Kemudian
anak itu berencana untuk mendapatkan jambu pertama yang hijau tua, karena
pertimbangan lebih mudah. Dengan susah payah dia mendirikan genter bambu
tersebut dengan kedua tangan. Ujung genter ditahan dengan satu kakinya supaya
mudah diberdirikan.
Ketika itu,
datanglah tamu, dua orang dan satu anak umru 5 tahun. Mereka mengendarai satu
sepeda motor tua merk yamaha memasuki halaman rumah. Tampaknya, yang berada
disepeda motor paling depan dan memegang kemudi adalah Bapak dari anak yang
duduk ditengah. Dan ibunya duduk dipaling belakang. Sang ibu turun dan segera
bertamu masuk kedalam rumah. Sedangkan Bapak dan anak pengendara sepeda
menunggu dihalaman, tepat tiga meter dari anak pemilik rumah yang sedang
menggapai jambunya.
Anak pemilik
rumah masih sedang bersusah payah mengambil jambu pertama dengan genternya.
Beberapa kali genter itu disodokkan pada jambu hijau tua, namun jambu tua masih
enggan jatuh dari dahannya. Sementara bapak bersepeda tua terpaksa menatap
keatas melihat apa yang sedang diraih anak pemilik rumah. Si Bapak melihat
jambu tua sedang diincar oleh genter. Kemudian dia menggeser matanya kedahan
lain melihat beberapa jambu yang muda. Melihat beberapa jambu yang masih
"pentil". Dan, ketika menggeser penglihatannya agak kedahan yang
lebih tinggi dia menemukan "emas". Jambu keemasan yang agak
tersembunyi di balik daun-daun yang ikut menguning. Tentu saja emas itu adalah
jambu kedua yang sudah diincar lebih dahulu anak pemilik rumah.
Si Bapak
terpesona dengan keemasan jambu tersebut. Lalu dia melihat anaknya yang kurus
berada dibelakang punggungnya. Anak tersayangnya. Seketika, Dalam pikiran si
bapak "aku ingin memberikan yang terbaik untuk anakku. Apapun akan
kulakukan untuk anakku". " Termasuk jambu keemasan itu akan
kudapatkan untuk anakku". "Jambu keemasan cita-citaku untuk
anakku".
Akhirnya...tidak
berpikir panjang..
Si Bapak
turun dari sepeda dan mendekati anak pemilik rumah
"Nak,
mana saya bantu ambilkan jambu itu untukmu" Kata si bapak sambil meraih
genter yang sedang dipegang anak pemilik rumah. Dengan maksud si bapak ingin
mengambilkan jambu pertama yang berwarna hijau tua untuk si anak pemilik rumah.
"em...."
si anak pemilik rumah terdiam melongo tidak sempat berkata-kata melepaskan
genter yang dipegangnya, karena gerakan si bapak yang cukup kuat dan cepat
mengambil alih genter yang dipegangnya.
"Craaak!
Sreek........ Bruk!" Hanya sekali sentak genter dari si bapak, jambu hijau tua incaran pertama si anak
pemilik rumah terjatuh ditanah.
"Nak
itu jambumu... Ambillah" kata si bapak memandang si anak pemilik rumah.
Sejurus
kemudian si bapak kembali mendongakkan kepalanya ke atas.
"
Sekarang aku akan mengambil jambu yang lain, untuk anakku" Kata si
bapak siap mengincar jambu yang lain,
yaitu jambu keemasan. Tanpa memperhatikan raut muka si anak pemilik rumah.
Si anak
pemilik rumah menyadari bahwa si bapak akan mengambil jambu keemasan yang sudah
diincarnya untuk anaknya. Jambu keemasan cita-citanya. Detak jantungnya
berdenyut terasa lebih cepat dari pada ketika melompat meraih jambu yang
pertama. Ada perasaan tidak rela jambu keemasannya di ambil orang lain. Si anak
merasa tidak kuasa untuk berkata-kata. Raut muka si bapak yang tua dan berwajah
seram itu membuat mulutnya kaku untuk mengatakan kegelisahan. Si anak pemilik
rumah diam tak berdaya. Hanya diam.
"Craaak!
Sreek........ Bruk!" Tidak lama jambu keemasan sudah jatuh di tanah,
diambil oleh si bapak tua, dan di berikan kepada anaknya yang sudah menunggu di
atas sepeda motor tuanya.
Si anak
pemilik rumah masih terdiam, menggenggam jambu hijau tua. Hatinya remuk redam.
Jambu keemasan yang menjadi cita-citanya telah dirampas oleh orang lain. Dia
merasa terdzalimi. Tanpa permisi si bapak tua jelek merebut jambu keemasan
miliknya. Jambu hijau tua diterkam dengan kuat oleh jari-jarinya. Tampak di
kedua matanya marah, tidak ikhlas jambu keemasannya telah direbut orang lain.
Jambu keemasan itu seharusnya menjadi miliknya.
"Itu
jambu saya!" teriaknya....sambil menunjuk jambu keemasan yang sudah berada
di ujung ujung mulut anak si bapak bersepeda tua.
Si bapak dan
anak hanya terdiam, melongo. Apa mungkin dia tidak sadar telah menyakiti hati
si anak pemilik rumah?.
Si bapak itu
terdiam dan tersenyum tidak merasa bersalah. Sementara anaknya tetap
melanjutkan memasukkan jambu keemasan masuk kedalam mulutnya. Dan digigitnya.
Si anak
pemilik rumah matanya semakin memerah. Dan tiba-tiba....
Si anak
pemilik rumah itu berlari....
Tapi bukan
mendekat dan melampiaskan kemarahannya ke pada si bapak dan anak di atas sepeda
tuanya...
Dia berlari
menjauhi sambil menangis..... Dia menangis berlari masuk kedalam rumah....
Dalam
hatinya "aku tidak ikhlas...". Namun dibalik ketidak ikhlasan itu si
anak tetap bersabar tidak akan melampiaskan kekesalannya karena akan merugikan
dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar