Setelah 7
Jam menembus terowongan angkasa, akhirnya pesawat kami mendarat di sebuah
bandara yang sangat modern. Kami tiba disana pagi hari waktu setempat. Yup..
Bandara Internasional Narita. Bandara yang bersih, serba semi automatis dan
cukup nyaman. Bahkan buat para backpacker yang nota bene orang klontang
klantung pun, bandara ini sangat membuat mereka nyaman bermalam. Bahkan kelak
kami juga akan merasakan bagaimana nekadnya nggelandang di bandara Narita ini.
Setelah
kami mendarat di bandara Narita, kami beristirahat untuk membeli snack dan
minuman. Dan astaga!! Harganya cukup mahal dibandingkan dengan di Indonesia.
Sebotol Air minum kecil 300ml seharga 100 yen (sekitar 12000 rupiah). Sedangkan
untuk makanan paling murah sejenis bento kecil yang kami peroleh adalah seharga
400 yen (48000 rupiah). Dan harga-harga itu sama dengan harga di luaran pada
umumnya. Dan pada umumnya, disimpulkan, setelah dilakukan survey muter-muter
bandara, harga-harga di jepang memang jauh lebih mahal dari di Indonesia,
705-400%.
Kami
telah benar-benar menginjakkan kaki di dunia yang benar-benar baru. Dan
benar-benar sangat berbeda dengan dunia kami yang lama. Ada sangat banyak
kelebihannya. Kebersihan, kerapihan, keteraturan dan ketertiban sungguh sangat
luar biasa, membuat siapa yang berada disana sangat nyaman. Cuacanya yang tidak
terlalu panas membuat orang berpikir tenang dan sabar. Pengemudi tidak
tergesa-gesa melajukan kendaraannya, begitu lampu merah selalu tertib berhenti,
begitu juga bila ada pejalan kaki melintas dengan sabar juga mereka berhenti.
Sangat berbeda dengan di Indonesia. Karena cuaca yang panas membuat beberapa
oknum manusia sering mendahulukan keinginannya untuk mendahului orang lain.
Namun
dari segala kebaikan negeri Jepang, ternyata juga tidak lepas dari cela. Itu
menurut saya. Yang pertama, yang selalu menjadi pikiran saya sejak berada di
dalam pesawat, adalah mengenai bagaimana kita sholat. Kami tidak menemui satu
buah pun mushola apalagi masjid. Kami terpaksa harus menggelar sajadah atau
sholat sambil duduk. Berwudlupun sangat susah harus dari wastafel. Susahnya
lagi hampir semua wastafel memakai sensor (tidak manual yang bisa diputar
tutup). Dan semua toilet berdiri untuk kencing laki-laki juga memakai sensor
movement. Jadi pada umumnya 99% lebih orang-orang Jepang habis pipis tidak
cebok. Begitu juga untuk buang air besar, pada umumnya toilet hanya menyediakan
tisu disamping toilet.
Kadang
saya berfikir, pasti orang Jepang jarang cuci kaki. Itu sah saja karena semua
lantai dan semua area memang bersih. Tapi bagi kami yang muslim, sudah tidak
ada mushola serta kondisi toilet yang tidak menyediakan pancuran membuat kami harus berfikir mencari solusi.
Permasalahan yang pertama, mengenai bersuci dari kencing maupun buang air
besar. Kemana-mana kami sudah terbiasa membawa botol minuman, dan botol minuman
tersebut kami jadikan juga untuk menampung air untuk bersuci. Dan untuk toilet
berdiri dengan sensor gerak, kita bisa mengakali sensor dengan menggerakkan
tubuh menjauh sesaat, supaya air bisa keluar. Atau juga dengan mendekatkan jari
pada kaca sensor, kemudian menggerakkan jari kekanan dan kekiri, sehingga oleh
sensor dideteksi pergerakan tubuh dan air memancar keluar.
Permasalahan
kedua, untuk bersholat. Sholat sangat wajib bagi kami. Namun kondisi Jepang
membuat kami sangat mensyukuri kondisi di Indonesia yang ternyata meski
semrawut, di Indonesia sangat melimpah mushola dan masjid. Dan kami harus
menyisihkan rasa malu untuk mendirikan sholat dimanapun. Asal tidak mengganggu
mereka. Kami harus belajar cuek untuk berwudlu di toilet dan sholat di tempat
umum.
Permasalahan
ketiga, masalah yang sangat penting bagi siapapun. Masalah perut. Masalah
makanan. Makanan halal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar