Senin, 07 Maret 2016

Perjuangan ke Jepang (III) - Surga bagi orang desa

Setelah 7 Jam menembus terowongan angkasa, akhirnya pesawat kami mendarat di sebuah bandara yang sangat modern. Kami tiba disana pagi hari waktu setempat. Yup.. Bandara Internasional Narita. Bandara yang bersih, serba semi automatis dan cukup nyaman. Bahkan buat para backpacker yang nota bene orang klontang klantung pun, bandara ini sangat membuat mereka nyaman bermalam. Bahkan kelak kami juga akan merasakan bagaimana nekadnya nggelandang di bandara Narita ini.

Setelah kami mendarat di bandara Narita, kami beristirahat untuk membeli snack dan minuman. Dan astaga!! Harganya cukup mahal dibandingkan dengan di Indonesia. Sebotol Air minum kecil 300ml seharga 100 yen (sekitar 12000 rupiah). Sedangkan untuk makanan paling murah sejenis bento kecil yang kami peroleh adalah seharga 400 yen (48000 rupiah). Dan harga-harga itu sama dengan harga di luaran pada umumnya. Dan pada umumnya, disimpulkan, setelah dilakukan survey muter-muter bandara, harga-harga di jepang memang jauh lebih mahal dari di Indonesia, 705-400%.

Kami telah benar-benar menginjakkan kaki di dunia yang benar-benar baru. Dan benar-benar sangat berbeda dengan dunia kami yang lama. Ada sangat banyak kelebihannya. Kebersihan, kerapihan, keteraturan dan ketertiban sungguh sangat luar biasa, membuat siapa yang berada disana sangat nyaman. Cuacanya yang tidak terlalu panas membuat orang berpikir tenang dan sabar. Pengemudi tidak tergesa-gesa melajukan kendaraannya, begitu lampu merah selalu tertib berhenti, begitu juga bila ada pejalan kaki melintas dengan sabar juga mereka berhenti. Sangat berbeda dengan di Indonesia. Karena cuaca yang panas membuat beberapa oknum manusia sering mendahulukan keinginannya untuk mendahului orang lain.

Namun dari segala kebaikan negeri Jepang, ternyata juga tidak lepas dari cela. Itu menurut saya. Yang pertama, yang selalu menjadi pikiran saya sejak berada di dalam pesawat, adalah mengenai bagaimana kita sholat. Kami tidak menemui satu buah pun mushola apalagi masjid. Kami terpaksa harus menggelar sajadah atau sholat sambil duduk. Berwudlupun sangat susah harus dari wastafel. Susahnya lagi hampir semua wastafel memakai sensor (tidak manual yang bisa diputar tutup). Dan semua toilet berdiri untuk kencing laki-laki juga memakai sensor movement. Jadi pada umumnya 99% lebih orang-orang Jepang habis pipis tidak cebok. Begitu juga untuk buang air besar, pada umumnya toilet hanya menyediakan tisu disamping toilet.

Kadang saya berfikir, pasti orang Jepang jarang cuci kaki. Itu sah saja karena semua lantai dan semua area memang bersih. Tapi bagi kami yang muslim, sudah tidak ada mushola serta kondisi toilet yang tidak menyediakan pancuran membuat kami harus berfikir mencari solusi. Permasalahan yang pertama, mengenai bersuci dari kencing maupun buang air besar. Kemana-mana kami sudah terbiasa membawa botol minuman, dan botol minuman tersebut kami jadikan juga untuk menampung air untuk bersuci. Dan untuk toilet berdiri dengan sensor gerak, kita bisa mengakali sensor dengan menggerakkan tubuh menjauh sesaat, supaya air bisa keluar. Atau juga dengan mendekatkan jari pada kaca sensor, kemudian menggerakkan jari kekanan dan kekiri, sehingga oleh sensor dideteksi pergerakan tubuh dan air memancar keluar.

Permasalahan kedua, untuk bersholat. Sholat sangat wajib bagi kami. Namun kondisi Jepang membuat kami sangat mensyukuri kondisi di Indonesia yang ternyata meski semrawut, di Indonesia sangat melimpah mushola dan masjid. Dan kami harus menyisihkan rasa malu untuk mendirikan sholat dimanapun. Asal tidak mengganggu mereka. Kami harus belajar cuek untuk berwudlu di toilet dan sholat di tempat umum.


Permasalahan ketiga, masalah yang sangat penting bagi siapapun. Masalah perut. Masalah makanan. Makanan  halal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar