Kamis, 01 Agustus 2013

Marhaban ya Ramadhan-Marhaban ya Duri (Part 4 : Berkah berduri)


DURI YANG BANYAK DURI

Bapak Agus cukup lincah melintas jalan-jalan kota Pekanbaru. Jalan layang yang setahun yang lalu belum jadi, sekarang sudah bisa dilintasi dan perjalanan menjadi sangat lancar. Suasana Pekanbaru sekarang terasa lebih asri. Jalan-jalannya lebar dan lancar. Di sisi kanan dan kiri banyak pepohonan yang rindang, trotoar serta jalan-jalannya halus dan bersih, sangat meredam kesan panas diluar ruangan. Mobil kami terus melaju lancar, membuat mataku menyapu setiap bagian kota tanpa koma. Hanya sekitar 10 menit kami sudah membelah kota Pekanbaru dan sudah berada di luar kota Pekanbaru.

Mulailah di luar Pekanbaru tampak di kanan kirinya perkebunan sawit sepanjang jalan. Jalan-jalan masih tampak baru sepanjang keluar Pekanbaru sampai kota Minas. Jalan-jalan juga cukup lengang, mungkin karena hari minggu truk-truk besar yang merayap yang biasa mengangkut minyak dan kayu tidak ada yang melintas. Selepas Minas beberapa titik jalan ada sedikit kemacetan karena ada pengecoran jalan. Terpaksa dilakukan sistem buka tutup jalan, namun masih tertib dan lancar. Pemandangan yang konstan dengan sawit, membuat mata terpejam teman-teman yang duduk dibelakang.

Semakin menjauh dari Minas, semakin banyak titik jalan mulai bergelombang, ambles karena beban roda dari truk-truk berat. Apalagi mendekati Kandis, jalan mulai semakin banyak yang rusak dan bergelombang parah. Kesan panas juga semakin terasa. Di sisi kiri dan kanan masih di iringi dengan sawit dan sawit.

Perjalanan sudah berlangsung 2 jam dan semakin mendekati Duri. Perjalanan semakin bergelombang laksana duri ketika mengejar deadline sebuah proyek. Mobil kami harus terus bergoyang ke kanan dan ke kiri. Meski skok mobil cukup empuk tapi goyangannya cukup membuat perut puasa kami terganggu kenyamanannya. Sekitar setengah jam kemudian akhirnya kami sampai di Duri.

KONFLIK PLTG DURI

Tidak lama, mobil kami meluncur ke Unit Pembangkit PLTG. Dari pihak holding PLN menyebutnya PLTG Balai Pungut. Karena lokasi PLTG tersebut adalah di desa Balai Pungut-kecamatan Pinggir. Namun menjadi sedikit dilema dalam komunikasi dan admnistrasi, karena kawan-kawan kami, menyebutnya dengan nama PLTG Duri karena keberadaannya masih dalam wilayah Kota Duri.

Pak Agus mengarahkan kemudinya belok kiri ketika ada persimpangan yang menunjukkan arah ke Pembangkit. Mobil kami mulai berjalan pelan karena sekitar 500 meter lagi sudah memasuki area pembangkit.
Mulailah saya yang duduk didepan sejak berangkat tadi, memperhatikan pemandangan sekitar. Disamping kanan jalan tampak tower tinggi jaringan 150 kV berjajar hingga kesuatu ujung didepan sana. Terdapat kawat-kawat transmisi 150 kV menjalar diatas dari towerke tower yang lain hingga akhirnya melambai turun ke sebuah substation. Substation 150 kV, sebuah area yang berisi Transformator daya dan beberapa peralatan pemutus listrik. Pada struktur-struktur besinya  bergantungan isolator dari keramik seperti pentol cilok kecoklatan yang sudah siap disajikan. Isolator-isolator tersebut memegang kawat-kawat jaringan 150 kV yang merambat dari tower-tower tadi. Dan semakin ditelusuri akhirnya kawat itu berhenti di ujung sebuah bushing dari Transformator Daya yang cukup besar.

Akhirnya mobil kami memasuki sebuah gerbang. Sekuriti tampak tersenyum dan membiarkan mobil kami masuk. Dari kejauhan kami seolah disambut dua mesin berwarna biru yang cukup besar. Itulah 2 mesin pembangkit bertenaga Gas. Suara gemuruh dan udara panas yang keluar dari stack PLTG seolah sedang berteriak gembira menyambut kami. Saya tatap bergantian 2 PLTG tersebut sambil tersenyum. Sedikit berbeda satu sama lain. Namun saya segera mengenali 1 dari 2 PLTG, yang berada di sebelah kanan. PLTG yang arealnya dibatasi oleh pagar kawat tersendiri. PLTG yang disalah satu sudutnya terdapat tulisan khas berwarna biru. Suatu simbol dari perusahaan pembangkit. PT PJB Services.

SI TUA YANG BANDEL

Itulah pembangkit yang akan saya temani selama seminggu kedepan. Dibawah O&M PT PJB Services. 1 dari 2 pambangkit bertenaga Gas, yang belakangan aku ketahui ternyata masih memakai bahan bakar solar, solar yang terkenal sebagai bahan bakar yang cukup mahal untuk pembangkit, setelah gas dan batubara.

Dan sudah menjadi instinc bagi saya seorang yang bergumul dalam dunia pembangkit listrik. Yang pertama menjadi sasaran perhatian saya adalah mesin Pembangkitnya. Saya selami PLTG tersebut dari ujung rambut hingga ujung kakiknya. Sangat jauh dari bayangan yang ada dalam benakku sebelumnya. PLTG yang sudah berumur puluhan tahun berasal dari Madura tersebut masih tampak bagus. Hampir tidak ada karat yang biasanya menyelimuti logam tua, apalagi dia adalah mesin out door. Desing suaranya yang mantap menandakan kinerjanya masih bisa menerangi propinsi Riau. Udara yang keluar dari stack juga tanpa warna, menunjukkan performa pembakaran yang sempurna. Kusapu benda-benda disekitar PLTG juga dasar-dasar lantainya, semua bersih tanpa warna coklat atau hitam dari minyak yang biasanya bocor pada mesin tua. Sungguh unit yang bisa dihandalkan. Unit yang pasti membanggakan para operatornya. Unit pembangkit yang mudah perawatannya. Unit pembangkit yang membuat betah para pekerjanya. Unit tua yang sangat bandel.

Disamping masing-masing pembangkit terdapat gedung kantor untuk administrasi pembangkit dan operator. Semua area bangunan PLTG masih baru, belum ada pepohonan yang meredam panasnya senyum matahari. Beberapa tanaman masih kecil-kecil dan sedang puasa dibawah terik matahari.

Diluar pagar area pembatas PLTG tampak masih berantakan. Tanah-tanah urukan masih belum diratakan dan pembangunan fasilitas juga tampak masih dilanjutkan. Semua area diluar pagar PLTG masih tampak seperti suasana proyek Pembangunan.

Marhaban ya Ramadhan-Marhaban ya Duri (part 3 : New Sultan Syarif Kasim)



Penerbangan pertama, pesawat berangkat tepat jam 06.00 WIB dari Juanda. Tiba di Sukarno Hatta jam 07.00 WIB. Kemudian transit cukup lama di Sukarno Hatta hingga jam 09.40 WIB. Selama perjalanan udara, baik Juanda-Sukarno Hatta maupun Sukarno Hatta - Sultan Syarif Kasim (Riau), hampir 50% perjalanan saya habiskan untuk memejamkan mata, dengan tujuan supaya perjalanan terasa lebih singkat. Sedangkan 50% yang lain terjaga karena beberapa kali pesawat bergetar akibat turbulensi.

Setelah menempuh perjalanan selama 1,5 jam dari Sukarno Hatta, tepatnya sekitar jam 11.30 WIB, akhirnya pesawat mengumumkan akan segera mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim - Riau. Terdengar sayap kanan dan kiri mengeluarkan sirip-sirip tambahan. Kecepatan pesawat diturunkan. Tampak di bawah mulai terlihat jelas perkebunan sawit yang luas membentang. Sungai yang berkelok-kelok kecoklatan tampak membelah hijaunya perkebunan sawit. Pemandangan diluar jendela terlihat cerah dan panas. Terlihat jelas beberapa bagian tanah yang berwarna putih kecoklatan khas tanah Riau. Tampak silau dari atap-atap rumah dari seng menambah kesan panas propinsi Riau.

Pesawat sedikit bergoyang kekiri dan kekanan. Kakiku mulai tegang. Tanganku tidak sadar memegang punggung kursi didepan saya. Kulirik tetangga sebelah, seorang lelaki sebaya denganku, juga tegang demikian. Pesawat semakin dekat dengan landasan. Dan... Semakin dekat. Dan... Terdengar turbine pada pesawat dimatikan. Suasana seketika senyam hening. Dan.... "Bles.....!!". Pesawat menyentuh landasan cukup keras namun mantap tanpa ragu-ragu seperti atlet sky yang melompat mendarat di salju. Pesawat masih berlari kencang dilandasan. Terdengar gemuruh yang keras dari sayap dan roda yang mencoba untuk mengurangi laju lari pesawat. Dan jantung saya masih berdebar-debar. Tak lama pesawat sudah bisa dikendalikan dan berjalan dengan pelan. Alhamdulillaah... Saya masih hidup dan mendarat dengan selamat. "Selamat datang di bandara Sultan Syarif Kasim- Pekanbaru-Riau, waktu menunjukkan pukul 11.30 WIB, tidak ada perbedaan waktu antara Jakarta dan Pekanbaru" begitu kalimat yang diucapkan pramugari melalui pengeras suara pesawat.

Sementara pesawat masih berjalan menuju tempat parkirnya, saya sudah mulai tenang dan menyempatkan untuk melihat keluar jendela. Suatu pemandangan yang baru, sebuah bangunan yang modern didominasi warna abu-abu warna logam yang cukup megah, Bandara Sultan Syarif Kasim sudah berubah, Bandara yang baru. Terlihat juga masjid disebelah kirinya sangat cantik dan megah, bermotif bathik khas propinsi Riau. Didepan Bandara baru, tampak sisa-sisa bangunan bandara yang lama yang sudah diratakan dan sedang segera dijadikan tempat parkir pesawat.

Setelah mengantri, dan berada di luar dari pesawat, kami disambut dengan silaunya matahari dan udara hangat yang berhembus. Di luar kami harus mengantri untuk menaiki shutle bus menuju ruang bandara. Karena bangunan bandara belum 100% selesai, tepatnya pesawat harus parkir agak jauh dari fasilitas Garbarata, maka penumpang tidak bisa langsung menuju ruang bandara melalui Garbarata. Setelah sedikit berdesakan, akhirnya kami bisa menaiki shutle bus yang ke dua. Bus melaju pelan menuju gedung bandara. Kemudian belok kiri untuk memutar karena arah parkir penurunan penumpang hanya satu arah.

Setelah bus berhenti, kami turun dan masuk memalui pintu masuk bandara. Dan "Cesss..." udara dingin kembali memeluk kami. Ruang bandara yang dingin tidak seperti bandara yang lama yang seingat saya tanpa AC. Kami terus menyusuri ruangan dan langsung menuju pintu keluar bandara. Sedangkan sebagian besar penumpang mengambil langkah belok kiri untuk mengambil barang-barang bagasi mereka. Sedangkan kami, sudah otomatis tidak ada yang membawa banyak barang bawaan. Cukup tas ransel yang kami panggul di punggung. Tas ransel kira-kira berisi 2 stel pakaian kaos, celana dalam dan wear pack, 1 laptop dan perlengkapan mandi.

Kami tiba di pintu keluar bandara, dan langsung familiar dengan orang berseragam biru telur asin yang sedang duduk tersenyum kepada kami. Bapak Agus juga namanya seperti nama teman kami, beliau sudah cukup tua namun masih tampak sehat dan kuat. Pak Agus langsung berdiri dan langsung menyambut kami.

Marhaban ya Ramadhan-Marhaban ya Duri (Part 2 : Marhaban yaa Riau)


PROPINSI PENUH RINDU

Tak terasa sudah setahun saya tidak pernah kembali ke Riau. Rasanya seperti baru kemarin saya menyelesaikan proyek di Dumai-Propinsi Riau. Sebuah proyek yang membuatku menghabiskan tiga tahun pertamaku bersama PT.PJB Services. Proyek EPC pertama yang pernah dilakukan oleh PJB Services. Sungguh luar biasa dan gemblengan yang luar biasa bagiku memperoleh kesempatan spesial terlibat banyak dalam proyek tersebut.

Dan besok minggu, akhirnya, aku bisa berkunjung kembali ke Riau, meski ke tempat yang berbeda. Namun rasanya pasti akan sama saja, tempat panas yang kurindukan. Ku rindu akan udara pagi yang aromanya khas dengan campuran kabut asapnya. Ku rindu dengan banyaknya buah Durian yang menghiasai pinggiran jalan, buah yang membuat kakiku agak kaku karena terlalu sering menggaulinya. Dan kurindu aroma masakan-masakan bersantan kental, beraroma rempah-rempah yang kaya bumbu, yang tidak terlalu cocok dengan lidah jawaku. Dan yang paling kurindukan adalah, kesan panasnya propinsi itu, yang begitu menyengat karena dekatnya dengan katulistiwa, propinsi yang dibagian kota Duri dan Dumai cukup gersang, sulit mendapatkan air bersih, namun propinsi yang sangat kaya. Riau, propinsi yang bagian atas tanah dan bawah tanah adalah minyak.

PERJALANAN YANG BERAT

Tidak mudah hari ini, minggu pagi buta, jam 00.00 WIB, Kediri. Saya memaksa bangun sendiri dan sendirian untuk segera sahur dan bersiap-siap berangkat ke Juanda-Surabaya. Udara dingin ketika malam antara bulan Juli - September yang terkenal dengan musim bediding di kediri adalah musim terdingin dengan kiriman angin yang berhembus cukup kencang sepanjang malam dengan udaranya yang kering dan dingin. Terasa semakin berat untuk membuka kelopak mata dan tubuh. Empuknya ranjang dan cantik tulusnya istri yang tertidur manis memeluk bantal guling seolah memanggilku untuk kembali kepelukannya.

Hanya tiket, tiket yang memaksaku untuk harus bangun, karena pesawat tidak akan menungguku dan uang 2,3 juta Rupiah akan hangus. Andaikan aku bisa ke Riau dengan 6 jam naik bus Harapan Jaya pasti akan kutunda bangun tidurku. Tapi, tidak mungkin. Dan akhirnya aku membasuh muka tangan dan kakiku dengan wudlu yang cukup mengusir rasa kantuk dan dingin, sementara.

Jam 01.15 WIB aku sudah berada di pertelon desa ngadiluwih. Tempat bus jurusan surabaya pasti berhenti dan menaikkan penumpang. Alhamdulillaah setelah menunggu 30 menit, bus datang. Dan sangat Alhamdulillah bus Harapan Jaya Ekonomi AC yang membawaku menuju surabaya tepat berangkat jam 01.45 WIB. Awalnya sempat khawatir, bus lama tidak melintas dan membuatku akan terlambat sampai Juanda. Namun, sungguh beruntung, yang biasanya kalau sebelum pagi, hanya bus ekonomi tanpa AC yang melintas. Bus yang angin dinginnya masuk kedalam melalui jendela dan pintu terbuka yang pasti akan membuat badan saya masuk angin.

Lebih cepat dari dugaan, setelah sepanjang jalan didominasi dengan mata terpejam dan tidur, bus ternyata sudah sampai terminal Purabaya-Bungurrasih-Surabaya (Sidoarjo) pada jam 03.45 WIB. Dan langsung, saya bermanufer menuju bandara Juanda dengan bus Damri 20 ribu rupiah. Bus Damri khusus Juanda yang parkirnya berada di sebelah kiri tempat kedatangan Bus Umum.

Dan sampai bandara tepat jam 04.15 WIB. Melakukan check-in dibandara yang ternyata sudah sangat ramai dan antrian check in untuk penerbangan jam 06.00 WIB sudah cukup panjang. Selepas check in adalah kesempatan untuk sholat subuh dilantai 2 bandara Juanda. Kemudian saya sempatkan duduk di salah satu deretan kursi ruang tunggu, karena mata masih terasa berat, saya kira cukup untuk memejamkan mata sejenak sambil menunggu Agus datang di Juanda.

Namun ternyata mata sulit terpejam karena ada rasa khawatir bila Agus tidak melintas. Sesaat aku melihat dikejauhan beberapa orang menghampiri counter asuransi di dekat lift dari lantai 1 bandara. Counter asuransi yang tidak wajib bagi penumpang untuk membelinya. Hanphone saya bergetar, ternyata ada SMS. " Yud... Ayo, kabeh wes mlebu pesawat! Aku berempat karo konco ODP4, 3 orang". Oh... Ternyata Agus sudah boarding duluan, dan aku tidak dikasih tahu bahwa kita tidak berdua menuju Riau.

Marhaban ya Ramadhan-Marhaban ya Duri (Part 1 : Marhaban yaa Ramadhan)



Sungguh berkah bisa merasakan lagi datangnya Ramadhan. Namun rasanya, datangnya Ramadhan kali ini akan sedikit berbeda. Tapi Semoga akan tetap berkah.

Pada umunya sehari-hari masih berada di ruang yang sama, mengisi ruang yang sama. Kalau difikir-fikir menjadi kurang bermanfaat bila selalu berada ditempat yang sama dalam suasana kurang manfaat, kurang mendukung lingkunganku.

Berfikir? Apa yang harus dilakukan.

Sementara kita lewati saja, apa yang saya tulis semoga bermanfaat.
Beberapa hari ini sedang sibuk berfikir dan mempersiapkan diri untuk berangkat ke Jepang. Mempelajari budaya Jepang, sedikit belajar bahasa jepang, yang terpenting mempelajari mechanical Turbine dan Bahasa Inggris yang bagiku masih cukup sulit meski sudah saya perlajari sejak SMP. Suasana siang yang lagi panas diluar ruangan membuatku semakin mantap untuk mempersiapkan diri belajar hal tersebut didalam ruangan kantor yang dingin.

Hembusan angin membuat banyak temen-temen disekitar tentram terdiam. Kecuali satu teman saya yang tidak bisa diam. Tiba-tiba menyapaku dari sudut ruang yang lain. "Yud, Oiyo... Aku nggowo tiketmu!" ujar temanku yang suaranya terkenal cukup lantang kalau berbicara. "Ha!?... Tiket opo?" spontan dari pikirku, tiket perjalanan ke jepang atau cuman bercanda?. "Iki... Tiket nyang Duri!" jawab temanku itu, yang di bajunya tercantum badge bernama Agus. Akhirnya aku datang menghampiri, dan Agus memberiku secarik kertas. Tertulis dalam kertas tersebut, Lion air, Keberangkatan surabaya-jakarta-pekanbaru, pukul 06.00 WIB hari minggu tanggal 21 Juli 2013. "Tiket gawe opo iki? Tugas opo?" tanyaku. "Seminggu di Duri mendampingi temen-temen disana seminggu, gantiin temen-temen operator di PLTG Duri yang lagi tes kompetensi di Palembang" jawab Agus. "OOOkeh!" jawabku semangat.